Saya tertarik sekali dengan postingan ini, maka minta maaf sebelumnya kalau aku kirim ke milis ini, mungkin sudah ada yang baca juga sebelumnya...Aku hanya berpikir dan membandingkannya dengan negara kita. Dibanding Iran, kita itu gak ada apa-apanya, baik dari segi sejarah, keberadaban dan keberadaannya di muka bumi, bak panggang dengan api.Tapi lihat yang terjadi sekarang, bagaimana pola hidup berfoya-foya selalu jadi patokan manusia indonesia kalau sudah jadi pejabat.
Jangan jauh-jauh, kalau sudah dilantik jadi Kepala Dinas saja, biasanya seseorang di Indonesia sudah mulai sulit ditemui dan gaya hidupnya pun sudah seperti penguasa. Semuanya minta dilayani, bukan melayani.Semua hal di negeri ini selalu diukur dengan kemewahan. Maka tak heran kalau ruangan kerja seorang bupati atau camat saja didisain semewah mungkin, padahal rakyatnya menderita. Pemimpin kita juga senang tampil di media dengan polesan-polesan tertentu. Dan itu seakan-akan menjadi standar di negeri ini, dan akhirnya mengekor ke semua bidang....Berbeda sekali dengan Iran dan India yang menerapkan gaya hidup sederhana dan benar-benar ditunjukkan pemimpinnya, bukan hanya slogan belaka.
Di negeri ini, para pemimpin sibuk berkoar agar HEMAT ENERGI, sementara mobil dinasnya menggunakan CC besar dan mesinnya selalu hidup dengan supir di dalamnya saat menunggu sang pejabat. Kita diminta cinta produk dalam negeri, sementara para pejabat kita berlomba-lomba ke luar negeri untuk belanja. Kita disuruh mencintai pendidikan dalam negeri dan sebagainya, sementara mereka menyekolahkan anak ke luar negeri.
Jadi sama sekali tak ada yang bisa kita jadikan panutan. Saat ditanya tentang kondisi bangsa, dengan enteng Wapres Jusuf Kalla mengatakan rakya sekarang sudah makmur. "Lihat saja kalau keluar Bandara sudah macet, itu artinya banyak warga yang bisa beli mobil," katanya suatu waktu. Di waktu lain ia berkata,"Program BLT membantu sekali, sebab dengan tambahan uang itu si penerima sudah bisa menghemat banyak sekali," katanya. Ia tak pernah tahu bahwa sebelum ia ngomong itu harga-harga di pasaran sudah melambung....
Pejabat kita memang tak membumi, seakan berpijak di awang-awang. Mereka tak pernah benar-benar merasakan apa yang dirasakan rakyat. Menteri Sri Mulyani selalu berkata dengan tersenyum," Harga BBM kita adalah termurah di Asia, jadi rakyat harusnya tidak protes kenaikan BBM," katanya. Ia tak tahu bahwa pendapatan rakyat di negara Asia lainnya jauh lebih tinggi dibanding Indonesia, jadi walau pun harga BBM tinggi, rakyatnya masih mampu membeli.Saya merasa, salah satu penyebab ini semua adalah karena Indonesia terlalu mengidolakan AMERIKA. Sehingga semua hal dibandingkan dengan Amerika.
Saat Amerika ambruk, baru para petinggi sadar dan menyarankan mulai menjajaki hubungan kerjasama ekonomi dengan negara-negara timur tengah dan dunia ketiga. Lihat saja Pemilu AS yang sedemikian menjadi sangat penting di TV Indonesia. Ngalah-ngalahin Pemilu di negeri sendiri. Padahal di sesi jumpa pers pertamanya saja, Obama dengan lantan sudah menantang Iran. "Iran tidak bisa dibiarkan mengembangkan program nuklir," kata Obama menjawab pers saat itu. Artinya, mau Obama, mau McCain sebenarnya sama saja, tetap AMERIKA! Yang merasa menjadi polisi dunia...Kepanjangan ya.... silakan baca postingan di bawah ini, semoga menginspirasi...denny s. batubara0813 850 333 01 / 08126522684
Seperti apakah anda memimpin?
Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya: "Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya:"Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."
Berikut adalah gambaran Ahmadinejad, yang membuat orang ternganga:
1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.
3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.
4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.
5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.
6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.
7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.
8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.
9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.
10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.
11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.
12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka
13. Bahkan ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa
14. Ia juga tidak mau bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya, cukup menundukan kepala sebagai rasa hormat
Mudah-mudahan profil "Pak Ahmad" ini menambah bahan renungan bagi kita, terutama para pria yang minimal merupakan pemimpin bagi diri sendiri dan keluarga masing-masing.
Sabtu, 22 November 2008
Minggu, 16 November 2008
Surat yang tak pernah dibaca
Surat yang Tak Terbaca...
Baru-baru ini anakku mengirim surat buat seorang mantan tetangga kami di Medan, yang sudah dia anggap neneknya. Ibu itu begitu baik, hingga akhirnya kami seperti keluarga. Bahkan saat kami pindah rumah, kami masih saling mengunjungi satu sama lain. Dia sudah kami anggap orangtua kami di Medan. Waktu kami pindah ke Jakarta, kami kehilangan kontak. Telepon semua tidak aktif, hingga akhirnya anakku yang baru pandai menulis, mengirimkan surat beserta fotonya dan adiknya..... Seminggu kemudian, baru kami tahu, ternyata ibu itu sudah meninggal dunia sejak setahun lalu, akibat serangan kanker payudara.... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....
Anaknya yang menelepon kami, mengatakan di akhir hayatnya Ibu itu masih sering menanyakan keadaan anakku, dan menanyakan mengapa kami tak pernah menelepon... Telepon dari anaknya itu sempat membuat kami terdiam, sedih sekali rasanya. Anakku pun hanya bertanya, "Nenek sudah meninggal, ya...." Anaknya mengatakan, mereka juga kaget dan sedih sekali membaca surat anakku, yang isinya menanyakan kabar Nenek, serta mengirimkan foto. Di surat itu kami cantumkan nomor telepon, dan nomor itulah yang kemudian dihubungi anaknya... Selama hampir 2 tahun kami kehilangan kontak, dan berakhir menyedihkan begini... Aku tersadar, bahwa kadangkala, ada hal-hal sepele yang kita lupakan dalam kehidupan kita...
Sehari sebelum kami pindah ke Jakarta, kami masih berkunjung ke Simalingkar, rumah Ibu Ati yang mantan tetangga kami itu. Dia punya 3 anak, 2 cewek dan 1 cowok yang saat itu (2005) kelas 5 SD. Saat itu kondisi Bu Ati memang sudah sakit, ada gejala kanker payudara. Dia hanya di rumah saja, bahkan pekerjaannya menjahit sudah ditinggalkan. Suaminya seorang kuli angkat di Pasar Pakaian Bekas Simalingkar. Waktu itu anaknya yang sulung sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.
Hubungan kami seperti layaknya keluarga. Anakku yang pertama, Queena, lahir saat kami masih tinggal di Simalingkar. Sehari-hari, bisa dibilang Bu Ati lah yang menjaga anak kami. Dia bahkan menganggap Queena sebagai cucunya sendiri. Sehingga sering terjadi kejadian lucu, kalau anakku memarahi anak bu Ati yang bungsu, "Ini nenekku...". Dan si anak itu pun menjawab,"Ini ibuku..."
Kami tinggal di Simalingkar, Jalan Karet XI sekitar 3 tahun. Saat ada rezeki, kami pindah ke daerah Marendal. Namun silaturahmi tetap terjaga. Bu Ati juga sering ke Marendal, sekadar ingin tahu kondisi Queena saja. Saat anak kedua kami, Baron, lahir, Bu Ati juga ikut menjaganya...
Kepindahan kami ke Jakarta membuat komunikasi terputus. Nomor telepon rumah mereka tidak aktif lagi karena menunggak. Nomor HP anak-anaknya juga tidak ada yang aktif.
Aku sempat meminta bebeapa teman di Medan untuk melihat keberadaannya, sekadar menyampaikan salam saja. Namun apa mau dikata, tak ada teman yang punya waktu luang.
Hingga akhirnya kami punya ide untuk mengirim surat saja. Anakku yang menulis, dengan harapan Bu Ati tentu akan senang sekali membaca tulisan cucunya. Ia tentu akan senang karna kami juga menyertakan foto Queena dan baron terbaru.
Dan ternyata, surat itu tak pernah dibaca Bu Ati... dia sudah meninggal dunia setahun sebelumnya... Surat anakku diterima anak kedua Bu Ati yang ternyata sudah menikah. Kebetulan saat itu ia ke rumah mereka karena akan melahirkan anak pertamanya. Suami Bu Ati masih bekerja, dan si Surya, anak bungsu Bu Ati juga sudah bekerja karna tidak melanjutkan sekolah.
Rasanya kebersamaan kami masih hangat dan seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sudah banyak cerita yang berubah setelah kami meninggalkan Medan.
Penyakit Bu Ati ternyata semakin parah dan akhirnya meninggal dunia karena kanker payudara. Di akhir hayatnya, menurut anaknya, Bu Ati sering menyebut-nyebut nama anakku... Sekarang, untunglah kami menyimpan foto Bu Ati serta ada beberapa gambar video yang bisa kami beritahu ke anak kami agar mereka tidak lupa. Dan anak-anakku selalu bangga mengatakan, "AKU PUNYA TIGA NENEK LHO!..."
Pinang, Tangerang
17 11 08
Baru-baru ini anakku mengirim surat buat seorang mantan tetangga kami di Medan, yang sudah dia anggap neneknya. Ibu itu begitu baik, hingga akhirnya kami seperti keluarga. Bahkan saat kami pindah rumah, kami masih saling mengunjungi satu sama lain. Dia sudah kami anggap orangtua kami di Medan. Waktu kami pindah ke Jakarta, kami kehilangan kontak. Telepon semua tidak aktif, hingga akhirnya anakku yang baru pandai menulis, mengirimkan surat beserta fotonya dan adiknya..... Seminggu kemudian, baru kami tahu, ternyata ibu itu sudah meninggal dunia sejak setahun lalu, akibat serangan kanker payudara.... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....
Anaknya yang menelepon kami, mengatakan di akhir hayatnya Ibu itu masih sering menanyakan keadaan anakku, dan menanyakan mengapa kami tak pernah menelepon... Telepon dari anaknya itu sempat membuat kami terdiam, sedih sekali rasanya. Anakku pun hanya bertanya, "Nenek sudah meninggal, ya...." Anaknya mengatakan, mereka juga kaget dan sedih sekali membaca surat anakku, yang isinya menanyakan kabar Nenek, serta mengirimkan foto. Di surat itu kami cantumkan nomor telepon, dan nomor itulah yang kemudian dihubungi anaknya... Selama hampir 2 tahun kami kehilangan kontak, dan berakhir menyedihkan begini... Aku tersadar, bahwa kadangkala, ada hal-hal sepele yang kita lupakan dalam kehidupan kita...
Sehari sebelum kami pindah ke Jakarta, kami masih berkunjung ke Simalingkar, rumah Ibu Ati yang mantan tetangga kami itu. Dia punya 3 anak, 2 cewek dan 1 cowok yang saat itu (2005) kelas 5 SD. Saat itu kondisi Bu Ati memang sudah sakit, ada gejala kanker payudara. Dia hanya di rumah saja, bahkan pekerjaannya menjahit sudah ditinggalkan. Suaminya seorang kuli angkat di Pasar Pakaian Bekas Simalingkar. Waktu itu anaknya yang sulung sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.
Hubungan kami seperti layaknya keluarga. Anakku yang pertama, Queena, lahir saat kami masih tinggal di Simalingkar. Sehari-hari, bisa dibilang Bu Ati lah yang menjaga anak kami. Dia bahkan menganggap Queena sebagai cucunya sendiri. Sehingga sering terjadi kejadian lucu, kalau anakku memarahi anak bu Ati yang bungsu, "Ini nenekku...". Dan si anak itu pun menjawab,"Ini ibuku..."
Kami tinggal di Simalingkar, Jalan Karet XI sekitar 3 tahun. Saat ada rezeki, kami pindah ke daerah Marendal. Namun silaturahmi tetap terjaga. Bu Ati juga sering ke Marendal, sekadar ingin tahu kondisi Queena saja. Saat anak kedua kami, Baron, lahir, Bu Ati juga ikut menjaganya...
Kepindahan kami ke Jakarta membuat komunikasi terputus. Nomor telepon rumah mereka tidak aktif lagi karena menunggak. Nomor HP anak-anaknya juga tidak ada yang aktif.
Aku sempat meminta bebeapa teman di Medan untuk melihat keberadaannya, sekadar menyampaikan salam saja. Namun apa mau dikata, tak ada teman yang punya waktu luang.
Hingga akhirnya kami punya ide untuk mengirim surat saja. Anakku yang menulis, dengan harapan Bu Ati tentu akan senang sekali membaca tulisan cucunya. Ia tentu akan senang karna kami juga menyertakan foto Queena dan baron terbaru.
Dan ternyata, surat itu tak pernah dibaca Bu Ati... dia sudah meninggal dunia setahun sebelumnya... Surat anakku diterima anak kedua Bu Ati yang ternyata sudah menikah. Kebetulan saat itu ia ke rumah mereka karena akan melahirkan anak pertamanya. Suami Bu Ati masih bekerja, dan si Surya, anak bungsu Bu Ati juga sudah bekerja karna tidak melanjutkan sekolah.
Rasanya kebersamaan kami masih hangat dan seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sudah banyak cerita yang berubah setelah kami meninggalkan Medan.
Penyakit Bu Ati ternyata semakin parah dan akhirnya meninggal dunia karena kanker payudara. Di akhir hayatnya, menurut anaknya, Bu Ati sering menyebut-nyebut nama anakku... Sekarang, untunglah kami menyimpan foto Bu Ati serta ada beberapa gambar video yang bisa kami beritahu ke anak kami agar mereka tidak lupa. Dan anak-anakku selalu bangga mengatakan, "AKU PUNYA TIGA NENEK LHO!..."
Pinang, Tangerang
17 11 08
Langganan:
Komentar (Atom)